Tantangan Pelaksanaan Wajib Belajar 13 Tahun di Tahun 2025

Mediascanter.id – Tantangan pelaksanaan wajib belajar 13 tahun di tahun 2025 menjadi salah satu isu penting dalam dunia pendidikan Indonesia. Meski kebijakan ini membawa harapan besar terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia, implementasinya tidak lepas dari kendala infrastruktur, sosial-ekonomi, hingga kesiapan tenaga pendidik di berbagai daerah.
1. Kesenjangan Akses Pendidikan di Wilayah 3T
Wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) masih menghadapi keterbatasan akses sekolah menengah. Banyak anak usia SMA/SMK harus menempuh perjalanan jauh hanya untuk bersekolah. Sarana transportasi yang terbatas menjadi penghambat utama. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan afirmatif yang memperluas pembangunan sekolah dan asrama di daerah terpencil.
2. Keterbatasan Sarana dan Prasarana Sekolah
Tidak semua sekolah menengah memiliki ruang kelas, laboratorium, dan fasilitas belajar yang memadai. Kondisi bangunan yang rusak atau belum layak pakai kerap dijumpai. Selain itu, ketersediaan teknologi pendukung seperti internet dan komputer juga masih timpang. Tantangan ini semakin besar ketika pembelajaran berbasis teknologi menjadi standar baru.
3. Ketimpangan Kualitas Guru
Distribusi guru belum merata, khususnya di jenjang SMA/SMK. Beberapa daerah mengalami kekurangan guru produktif untuk SMK, sementara di daerah lain jumlah guru berlebih. Selain itu, guru di daerah pelosok kerap belum mendapatkan pelatihan memadai, baik secara pedagogis maupun digital. Maka dari itu, pemerataan dan peningkatan kompetensi guru menjadi agenda yang tak bisa ditunda.
4. Faktor Ekonomi Keluarga
Banyak keluarga di daerah miskin belum mampu menyekolahkan anak hingga jenjang menengah atas. Mereka memilih anak untuk bekerja membantu ekonomi keluarga dibanding melanjutkan sekolah. Meski program KIP dan beasiswa afirmasi sudah berjalan, belum semua anak dari keluarga tidak mampu mendapat akses informasi dan bantuan yang tepat.
5. Kurangnya Pendampingan dan Literasi
Pelajar jenjang SMA/SMK memerlukan pendampingan dalam proses belajar dan perencanaan karier. Namun, minimnya tenaga konselor dan guru bimbingan belajar membuat mereka kurang termotivasi menyelesaikan pendidikan. Rendahnya literasi pendidikan di masyarakat pun menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi anak-anak dari keluarga yang belum memiliki latar belakang pendidikan tinggi.
Tantangan pelaksanaan wajib belajar 13 tahun di tahun 2025 mencerminkan bahwa kebijakan besar memerlukan kesiapan yang matang. Pemerataan fasilitas, kualitas guru, bantuan ekonomi, dan literasi pendidikan harus menjadi prioritas agar tujuan dari wajib belajar benar-benar tercapai. Jika tantangan ini dapat diatasi, pendidikan Indonesia akan memasuki babak baru yang lebih inklusif dan berdaya saing.