Evaluasi Kurikulum Merdeka Pasca Penjurusan

Mediascanter.id – Perbincangan tentang evaluasi Kurikulum Merdeka pasca penjurusan semakin ramai di dunia pendidikan Indonesia. Setelah beberapa tahun berjalan tanpa sistem penjurusan di SMA, kini pemerintah mempertimbangkan untuk mengembalikannya. Keputusan ini memunculkan beragam tanggapan dari pendidik, siswa, dan orang tua yang menilai efektivitas Kurikulum Merdeka perlu ditinjau ulang.
Sebelumnya, Kurikulum Merdeka hadir dengan semangat kebebasan belajar, fleksibilitas, dan pengembangan minat siswa tanpa batasan jurusan. Namun, tanpa penjurusan, banyak guru mengaku kesulitan menyesuaikan kedalaman materi dengan kemampuan siswa. Karena itu, evaluasi terhadap penerapan kurikulum ini penting agar arah pendidikan Indonesia tetap relevan dan adaptif terhadap kebutuhan masa depan.
Latar Belakang Penerapan Kurikulum Merdeka
Kurikulum Merdeka pertama kali diterapkan sebagai solusi dari sistem pembelajaran yang terlalu kaku dan berorientasi nilai. Melalui kurikulum ini, siswa diberi kebebasan memilih mata pelajaran sesuai minat dan bakatnya. Tujuannya sederhana — membentuk generasi yang mandiri, kreatif, dan berpikir kritis.
Namun, seiring waktu, muncul berbagai tantangan. Banyak sekolah yang belum siap dengan sistem fleksibilitas ini. Guru kesulitan dalam mengelompokkan siswa berdasarkan minat, sementara sistem penilaian belum memiliki standar yang jelas. Akibatnya, penerapan Kurikulum Merdeka berjalan tidak merata di berbagai daerah.
Dampak Penjurusan terhadap Kurikulum Merdeka
Kembalinya sistem penjurusan tentu membawa konsekuensi besar terhadap pelaksanaan Kurikulum Merdeka. Di satu sisi, penjurusan membantu siswa fokus pada bidang tertentu. Namun, di sisi lain, hal ini berpotensi mengurangi fleksibilitas belajar yang menjadi semangat utama kurikulum tersebut.
Banyak pendidik menilai bahwa penjurusan dapat memperkuat arah pembelajaran jika diterapkan dengan bijak. Misalnya, siswa IPA bisa mendalami sains lebih dalam tanpa harus terbebani pelajaran nonrelevan. Sebaliknya, siswa IPS dapat memperdalam ekonomi, sejarah, dan sosiologi sesuai arah karier mereka.
Meski begitu, penting untuk menjaga agar semangat Kurikulum Merdeka — yaitu kebebasan belajar — tetap hidup di dalam sistem baru. Penjurusan seharusnya tidak menjadi penghalang bagi siswa untuk mengeksplorasi minat di luar bidang utamanya.
Tantangan Implementasi di Lapangan
Penerapan kebijakan baru tentu membutuhkan waktu dan adaptasi. Sekolah harus menyesuaikan struktur kurikulum, jadwal pembelajaran, dan sistem evaluasi. Guru juga perlu pelatihan tambahan agar bisa menyeimbangkan pendekatan antara kedalaman materi jurusan dan kebebasan belajar siswa.
Selain itu, ketimpangan fasilitas antar sekolah menjadi tantangan tersendiri. Sekolah di perkotaan mungkin lebih mudah beradaptasi, tetapi sekolah di daerah 3T masih berjuang dengan keterbatasan sumber daya. Oleh karena itu, keberhasilan evaluasi Kurikulum Merdeka pasca penjurusan sangat bergantung pada kesiapan semua pihak, termasuk pemerintah daerah.
Arah Perbaikan Kurikulum ke Depan
Untuk menciptakan kurikulum yang ideal, diperlukan evaluasi menyeluruh berdasarkan data dan pengalaman di lapangan. Pemerintah dapat mengembangkan model kurikulum hibrida — gabungan antara sistem penjurusan dan kebebasan lintas mata pelajaran. Dengan model ini, siswa tetap memiliki arah akademik yang jelas, namun tidak kehilangan kesempatan untuk mempelajari bidang lain yang mereka minati.
Selain itu, sistem bimbingan karier perlu diperkuat agar siswa lebih sadar akan potensi dan arah studinya. Dengan panduan yang tepat, siswa tidak sekadar terjebak dalam jurusan, tetapi benar-benar mengembangkan kompetensi dan karakter belajar mandiri.
Dari pembahasan di atas, jelas bahwa evaluasi Kurikulum Merdeka pasca penjurusan bukan sekadar soal kebijakan, tetapi tentang arah masa depan pendidikan Indonesia. Penjurusan bisa menjadi solusi bagi efektivitas pembelajaran, asalkan tetap mengutamakan semangat kebebasan dan fleksibilitas belajar.
Pendidikan tidak boleh terjebak antara dua ekstrem, terlalu bebas atau terlalu kaku. Membutuhkan keseimbangan: kurikulum yang adaptif, guru yang siap, dan sistem yang memberi ruang bagi setiap siswa untuk tumbuh sesuai potensinya.